SELAMAT DATANG DI BLOG ANAK BUTTA PANRITA LOPI

Senin, 20 Februari 2012

Bulukumba akan punya bandara

2014, Bulukumba Miliki Bandara


Tidak lama lagi Pemkab Bulukumba menargetkan menyelesaikan pembangunan bandara perintis, di Desa Ara, Kecamatan Bontobahari, sebelum tahun 2014. Sekarang sudah berlangsung visibility study dengan luas areal lahan 150 hektare. Lokasi bandara tak jauh dari Pantai Pasir Putih Tanjung Bira.

ICON KOTA BULUKUMBA

Bundaran Phinisi Bulukumba


Bundaran Phinisi yang terletak di Ibukota Kabupaten Bulukumba, saat ini telah menjadi ikon

tersendiri. Tempat ini melambangkan sebagai sebagian besar daerah itu memiliki wilayah bahari

yang membentang dari arah ujung timur hingga bagian selatan berbatasan langsung dengan

Kabupaten Bantaeng.

Simbol Phinisi yang terletak di jantung kota itu melambangkan sebagian besar yang warga yang

berdiam di wilayah itu adalah pelaut dan bermata pencaharian sebagai nelayan.

Bundaran Phinisi saat ini kerap dijadikan sebagai pusat kegiatan pementasan seni pada akhir

pekan oleh sebagian seniman dari berbagai daerah.

Lokasi bundaran itu tepat berada di depan kantor Bupati Bulukumba, atau berada di ujung jalan

Jenderal Sudirman.

Tempat ini sebelumnya hanya berdiri sebuah kincir air mancur, pada masa pemerintahan A

Patabai Pabbokori yang kemudian dibaguni bundaran dan di atasnya diletakkan sebuah

bangunan perahu sebagai simbol masyarakat Bulukumba banyak bergantung pada alam

bahari.

Laskar Kelor

BULUKUMBA, TRIBUN-TIMUR.COM -- Saat ini di Bulukumba beredar lagu yang berbahasa daerah Konjo, yang adalah bahsa daerah suku Kajang, Bulukumba.

Berasal dari grup band lokal yang bernama Laskar Kelor asal Kajang, yang berada di pesisir bagian Timur Butta Panrita Lopi ini.

Lagu yang telah dirilis oleh Laskar Kelor yakni adalah Kitajangma ri Bira, ri Batu Nisanta, Kamponna Anrongku. Grup band tersebut telah merilis 11 lagu  dan telah mencukupi untuk membuat satu album.

Manajer Laskar Kelor, Andika Mappasomba telah memperkenalkan ke pihak Pemkab setempat lagu itu dan melalui jejaring situs online facebook.

Dia menyebutnya bahwa lagu Laskar Kelor, telah mempublik hingga ke Mandar Sulawesi Barat. Namun di Bulukumba sendiri belum dikenal.

" Lagu yang berbahasa Konjo asli, dikaryakan oleh anak rumpun suku Bugis Makassar Asli di Bulukumba bagian timur, belum populer di daerah ini. Padahal lagu dalam bahasa konjo baru yang pertama, di Sulsel yang selama ini hanya ada lagu berbahasa Makassar, Bugis dengan jenis tertentu," katanya, siang tadi saat mengikuti acara Bedah Kepemimpinan Bupati Bulukumba Zainuddin Hasann di Hotel Arini II.(*)

Panorama Pantai samboang


Pantai Samboang terletak di Desa Eka Tiro Kecamatan Bonto Tiro. Panorama yang indah dan lekukan bibir pantai yang landai serta terumbu karang yang tak jauh dari pantai menjadikan Samboang berbeda dengan objek wisata pantai lainnya. Di tempat ini pula terdapat pulau kecil yang telah dihubungkan dengan titian sepanjang 20 meter. Bagi wisatawan yang gemar memancing di tempat inilah dapat menyalurkan hobby.

Selain pantai Tanjung Bira, pantai Samboang adalah salah satu obyek wisata Bulukumba yang tidak kalah menariknya. Pantai ini berada di Kecamatan Bontotiro tepatnya bagian selatan pesisir pantai Bulukumba. Dengan pasir putih dan air lautnya yang jernih, pengunjung juga dapat menikmati rindang pohon kelapa yang berjejer di pinggir pantai.

Untuk menuju Ke tempat tersebut anda bisa menggunakan kendaraan bermotor dengan lama perjalanan kurang lebih lima setengah jam dari  pusat kota makassar. Lebih jelasnya, saya akan mendeskripsikan perjalanan dari Kota Makassar sampai tempat tersebut. Perjalanan dimulai dari Bandara Sultan Hasanuddin, kemudian menuju Terminal Mallengkeri Makassar yang bisa dituju dengan beberapa pilihan, yaitu denga naik taksi, Ojek, atau naik angkot juga bisa, soal harga anda sebaiknya tawar menawar saja dengan pengemudinya.

Selanjutnya untuk menuju ke Kota Bulukumba dapat ditempuh dengan menggunakan angkutan umum berupa mobil Kijang, Panther atau Innova dengan tarif sebesar Rp.35.000. Namun terkadang ada Sopir yang meminta bayaran Rp.40.000, jadi sebaiknya anda menanyakan harga terlebih dahulu. anda juga bisa menyema mobil tersebut sampai lokasi pantai dengan harga Rp.500.000.
Selanjutnya,  dari Kota Bulukumba ke pantai samboang dapat ditempuh dengan menggunakan mobil  pete-pete (mikrolet) dengan tarif berkisar antara Rp.8.000 sampai – Rp.10.000.Namun karena angkutan ke tempat tersebut sangat sedikit, jadi sebaiknya anda menyewa angkot saja dari terminal bulukumba sampai lokasi tersebut.
Pantai ini baru diresmikan sebagai tujuan wisata bulukumba yang baru, sehingga fasilitas yang tersedia masih sangat terbatas. Menurut Bupati Zainuddin Hasan sesaat setelah meresmikan tempat tersebut, hari libur tahun baru 2011 sengaja dipusatkan di pantai Samboang untuk memperkenalkan panorama pantai tersebut, ke depan Zainuddin akan memoles Samboang yang masih alami ini menjadi kawasan wisata yang indah dan menarik, dengan melakukan kerjasama dengan investor. Sejumlah villa sudah terbangun menghadap laut lepas, sehingga wisatawan dapat menginap dan menikmati alam Samboang. Kadis Pariwisata Andi Bahagia mengungkapkan bahwa wisata di Samboang akan menjadi kalender tahunan melalui berbagai event wisata. Beberapa hal yang masih perlu dibenahi sehingga pantai Samboang menjadi kawasan wisata andalan seperti infrastruktur jalan dan penataan lokasi pantai.

Tanah adat tiada duanya

Suku Kajang Le'leng

 

Suku Kajang adalah salah satu suku yang tinggal di pedalaman Makassar, Sulawesi Selatan. Secara turun temurun, mereka tinggal di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. Bagi mereka, daerah itu dianggap sebagai tanah warisan leluhur dan mereka menyebutnya, Tana Toa.

Di Tana Toa, suku Kajang terbagi menjadi dua kelompok, Kajang Dalam dan Kajang Luar. Suku Kajang Luar hidup dan menetap di tujuh desa di Bulukumba. Sementara suku Kajang Dalam tinggal hanya di dusun Benteng. Di dusun Benteng inilah, masyarakat Kajang Dalam dan Luar melaksanakan segala aktifitasnya yang masih terkait dengan adat istiadat.



Meskipun suku Kajang terbagi menjadi dua kelompok, tidak ada perbedaan diantara keduanya. Sejak dulu hingga kini, mereka selalu berpegang teguh pada ajaran leluhur.
Berdasarkan ajaran leluhur, masyarakat Suku Kajang harus selalu menjaga keseimbangan hidup dengan alam dan para leluhur.

Tokoh Adat Suku Kajang, Mansyur Embas menuturkan bahwa , masyarakat Suku Kajang di Tana Toa selalu hidup dalam kesederhanaan. Di dalam setiap rumah warga Kajang, tidak ada satupun perabotan rumah tangga. Tidak ada kursi ataupun kasur. Mereka juga tidak menggunakan satupun peralatan elektronik, seperti Radio dan televisi. Mereka menganggap, modernitas dapat menjauhkan suku Kajang dengan alam dan para leluhur.

"Di dalam tidak ada kursi. Tidak ada kasur. Tidak ada kemoderan yang bisa kita liat. Tidak ada lambang yang sifatnya elektronik dan segala macamnya. Tidak ada elektronik, seperti radio dan televisi. Ini mengapa? Demi untuk menjaga kelestarian lingkungan dengan alam lingkungan untuk tetap terjalin. Terjalin hubungan komunikasi batin dengan paar leluhur, para pendahulu. Yang paling utama hubungan dengan Tuhan."

Meskipun suku Kajang terbagi menjadi dua kelompok, tidak ada perbedaan diantara keduanya. Sejak dulu hingga kini, mereka selalu berpegang teguh pada ajaran leluhur.
Berdasarkan ajaran leluhur, masyarakat Suku Kajang harus selalu menjaga keseimbangan hidup dengan alam dan para leluhur.



Tokoh Adat Suku Kajang, Mansyur Embas menuturkan bahwa , masyarakat Suku Kajang di Tana Toa selalu hidup dalam kesederhanaan. Di dalam setiap rumah warga Kajang, tidak ada satupun perabotan rumah tangga. Tidak ada kursi ataupun kasur. Mereka juga tidak menggunakan satupun peralatan elektronik, seperti Radio dan televisi. Mereka menganggap, modernitas dapat menjauhkan suku Kajang dengan alam dan para leluhur.

Bagi masyarakat Kajang, modernitas juga dianggap sebagai pengaruh yang dapat menyimpang dari aturan adat dan ajaran leluhur. Mereka tidak mudah untuk menerima budaya dari luar daerah. Mansyur Embas, tokoh adat Suku Kajang menceritakan dulu, di Tana Toa tidak ada satupun tempat pendidikan formal. Tidak ada satupun warga suku Kajang yang mau untuk menuntut ilmu secara formal. Namun seiring dengan pemikiran warga Suku Kajang yang semakin maju, semuanya telah berubah sedikit demi sedikit. berikut penuturan dari Mansyur Embas.

"Ini dikarenakan dianggapnya mereka ini tabu untuk melakukan hubungan dengan dunia luar bagi perempuan adat di dalam kawasan hidup Amatoa itu. Mungkin ada beberapa unsur pengaruh negatif. Keluar, pengawasan sudah kurang. Pengawasan keluarga sudah jarang. Ketiga, mungkin karena pengaruh pergaulan yang mereka sama sekali di awal kehidupannya belum pernah melihat tata cara seperti itu, mereka langsung bisa terjerumus. Inilah yang mereka jaga. Tapi, kalau sekarang ini sudah sedikit agak terbuka. Di dalam sudah ada sekolah lanjutan tingkat atas. Mereka sudah mulai terbuka karena itu. Artinya keterbukaan ini sudah menyadarkan mereka juga sudah menyadari ketertinggalan pendidikan. Malah sudah ada asli wanita dalam itu sudah jadi Polwan."


Kesederhanaan Suku Kajang juga dapat Anda lihat dari bentuk rumah Kajan. Di Tana Toa, semua rumah warga dibangun dari bahan yang sama . Bangunan rumahnya terbuat dari kayu. Sementara atapnya terbuat dari ijuk. Tidak hanya bahan, bentuk rumahnya juga sama. Konon, konsep ini tidak hanya menunjukkan kesederhanaan. Mereka juga menganggapnya sebagai simbol keseragaman. Mereka percaya, jika ada keseragaman tidak akan ada rasa iri diantara masyarakat Suku Kajang.

Meskipun kini masyarakat Kajang sedikit terbuka terhadap pengaruh budaya dari luar, hukum adat dan ajaran para leluhur tetap mereka pegang teguh. Setiap pendatang yang ingin berkunjung ke Tana Toa tetap harus mematuhi semua aturan adat yang berlaku. Untuk masuk ke wilayah Tana Toa, Anda tidak boleh menggunakan sarana transportasi modern. Di area Tana Toa, Anda diharuskan untuk berjalan kaki. Sebagai alternatif, Anda hanya boleh menunggang kuda untuk mengelilingi Tana Toa.

Keseragaman dan kesederhanaan tidak hanya terlihat dari bentuk rumahnya. Setiap hari, suku Kajang juga mengenakan pakaian yang warnanya sama. Mereka selalu mengenakan pakaian bewarna hitam. Bagi mereka, hitam melambangkan kesederhanaan dan kesamaan antar sesama masyarakat Kajang. Oleh masyarakat Kajang, warna hitam juga dijadikan simbol agar mereka selalu ingat akan dunia akhir atau kematian. Untuk menghadapi kematian, setiap masyarakat Kajang harus mempersiapkan diri sebaik mungkin sejak mereka dilahirkan. Mereka harus selalu berbuat baik, menjaga alam, patuh terhadap perintah Tuhan Yang Maha Esa dan ajaran leluhur.

Dalam membuat sebuah rumah, masyarakat Kajang harus mematuhi beberapa aturan adat yang berlaku. Salah satunya, mereka hanya boleh membangun rumah dari kayu. Rumah tidak boleh dari batu bata ataupun tanah. Bagi mereka, hanya orang matilah yang diapit tanah. Sementara rumah untuk tempat orang hidup. Jika rumah dari batu bata ataupun tanah, meskipun penghuni rumah itu masih hidup, mereka akan dianggap mati oleh seluruh masyarakat Kajang.

Bagi masyarakat Kajang, ajaran para leluhur memiliki arti penting. Begitu pentingnya, mereka selalu menjalankan berbagai aktifitas kehidupan berdasarkan tradisi leluhur. Aturan adat dari Sang Leluhur juga selalu mengikat setiap kegiatan mereka.

Pantai nan indah di selatan Sulawesi

Pantai Tanjung Bira

tanjung-bira
Tanjung bira terkenal dengan pantai pasir putihnya yang cantik dan menyenangkan. Airnya jernih, baik untuk tempat berenang dan berjemur. Disini kita dapat menikmati matahari terbit dan terbenam dengan cahayanya yang berkilau nenbersit pada hamparan pasir putih sepanjang puluhan kilometer.
Pantai bira yang sudah terkenal hingga mancanegara, kini sudah ditata secara apik menjadi kawasan wisata yang patutu di andalkan. Berbagai sarana sudah tersedia, seperti perhotelan, restoran, serta sarana telekomunikasi, pantai bira berlokasi sekitar 41 km kearah timur dari kota bulukumba. dengan pelabuhan penyeberangan fery yang menghubungkan daratan Sulawesi Selatan dengan pulau selayar.
tanjung bira
Tanjung Bira merupakan pantai pasir putih  yang cukup terkenal di Sulawesi Selatan. Pantai ini termasuk pantai yang  bersih, tertata rapi, dan air lautnya jernih. Keindahan dan kenyamanan pantai ini terkenal hingga ke mancanegara. Turis-turis asing dari berbagai negara banyak yang berkunjung ke tempat ini untuk berlibur.
Pantai Tanjung Bira sangat indah dan  memukau dengan pasir putihnya yang lembut seperti tepung terigu. Di lokasi,  para pengunjung dapat berenang, berjemur, diving dan snorkling. Para pengunjung juga dapat menyaksikan  matahari terbit dan terbenam di satu posisi yang sama, serta dapat menikmati  keindahan dua pulau yang ada di depan pantai ini, yaitu Pulau Liukang dan Pulau  Kambing.
Tanjung Bira terletak di daerah ujung paling selatan Provinsi Sulawesi Selatan, tepatnya di Kecamatan Bonto Bahari,  Kabupaten Bulukumba.
Tanjung Bira terletak sekitar 40 km dari  Kota Bulu Kumba, atau 200 km dari Kota Makassar. Perjalanan dari Kota Makassar  ke Kota Bulukumba dapat ditempuh dengan menggunakan angkutan umum berupa mobil Kijang, Panther atau Innova dengan tarif sebesar Rp. 35.000,-. Selanjutnya,  dari Kota Bulukumba ke Tanjung Bira dapat ditempuh dengan menggunakan mobil  pete-pete (mikrolet) dengan tarif berkisar antara Rp. 8.000,- sampai – Rp.  10.000,-. Total waktu perjalanan dari Kota Makassar ke Tanjung Bira sekitar 3 –  3,5 jam.
Jika pengunjung berangkat dari Bandara  Hasanuddin, langsung menuju ke terminal Malengkeri (Kota Makassar) dengan  menggunakan taksi yang tarifnya sekitar Rp. 40.000,-. Di terminal ini kemudian naik bus tujuan Bulukumba atau yang langsung ke Tanjung Bira.
Di kawasan wisata Tanjung Bira, angkutan  umum beroperasi hanya sampai sore hari. Jika pengunjung harus kembali ke Kota Makassar pada sore itu juga, di sana  tersedia mobil carteran (sewaan) dengan tarif Rp. 500.000,-.
Biaya tiket masuk ke lokasi Pantai Tanjung  Bira sebesar Rp. 5.000,-.
Kawasan wisata Pantai Tanjung Bira dilengkapi dengan berbagai fasilitas, seperti restoran, penginapan, villa, bungalow, dan hotel dengan tarif mulai dari Rp. 100.000,- hingga Rp. 600.000,-  per hari. Di tempat ini juga terdapat persewaan perlengkapan diving dan snorkling dengan tarif Rp. 30.000,-. Bagi pengunjung yang selesai berenang di pantai,  disediakan kamar mandi umum dan air tawar untuk membersihkan pasir dan air laut  yang masih lengket di badan. Bagi pengunjung yang ingin berkeliling di sekitar pantai, tersedia persewaan motor dengan tarif Rp. 65.000,-. Di kawasan pantai  juga terdapat pelabuhan kapal ferry yang siap mengantarkan pengunjung yang ingin berwisata selam ke Pulau Selayar.
Sumber: www.sulsel.go.id
pantai bira